Puisi-puisi bang Andha alias Adrian Djuanda ( Makassar ), banyak nasehat dan pelajaran yang wie dapat dari abang yang satu ini...
PURI MENTARI BIANGLALA HATI
"HBD bagi DAK"
Engkau
yang bercerita tentang pelangi dan senja
pada warna pudar di kusami takdir;
Hitam dalam putih.
Hasrat
yang luruh di ujung bianglala
persembahkan dilema di simpang langkah;
Asa dalam beda.
Rindu
yang menggelinjang di penuh gelisah
kau tangkup luka, kau palsu reka;
Jerit dalam sumringah.
Pada cerita apa lagikah yang masih bisa sesapkan airmata
masih bisa redakan tangis, masih bisa dinginkan perih?
Engkau, wahai.
Bangkitlah mentari dari segenap biru !
Bangkitlah mentari dari segenap rindu !
Bangkitlah mentari dari pudar puri bianglala !
Jerit burung malam merobek langit hening di angkasamu
Ketika setangkup munajat serenta mengukuh setabah karang.
Jubah jingga melambai.
Mimpi-mimpi semu terburai.
Segenap perjalanan menghimpun debu.
Ke atas altar persembahan kepasrahan.
Ikhlas
Kau awali hari di jejak langkah
Ketenangan jiwa keyakinan utuh;
Penuh seluruh.
Esok.
Embun dan luruh lelawa di gerbang fajar
Menyibak menyongsong mentari;
Bagi hati.
Hari Ultahmu, 08.06.2010.
By. Adrians Juanda
KEPERGIAN
1/
duka membuka di ini ketika
lembar usang sibakkan kelopak penghabisan
ada bening menggantung
dan pandangmu mengabur
pada bayang sesosok puisi
menjauh, semakin samar
sejenak tertunduk
wajahmu lantas tengadah
coba mereguk cakrawala
ke lindap sukma
ada asa terlindas rasa
doa diberangus dosa
angin menghunjam
cuaca menggumpal
bibir menggumam
selamat tinggal
2/
aku masih ingin merangkai aksara
ketika langkahmu meninggalkan
setumpuk kata
sajak yang aku rangkai
dan kusebut bingkai
tak pelak kau bengkalai
dan kausebut bangkai
maka kau sebut apakah
ruh puisi dari perasan rasa
yang kurangkai dalam bingkai
dan kusebut cinta?
Makassar, 21082011
LAUT
Biru semu memaya langit
hanya canda camar mencumbu pucuk ombak
buih putih, sejenak membuncah
sudah itu lampus, punah.
Masih kaualirkan hasrat
pada hilir, kemana segala bangkai bermuara?
Masih kausandarkan semangat
pada laut, kemana segenap sampah nelangsa?
Langit maya membiru laut semu
hanya mainan caya pada senda sebelum senja
bias pias, sejenak berpendar
sudah itu pupus, pudar.
Kau akui
pada kauku.
Andha
Kariango, 19062010
Wujud Tanpa Wajah, Muramkah ?
(engkau tahu, ini khusus untukmu)
(engkau tahu, ini khusus untukmu)
aku masih ingin merangkai aksara
ketika langkahmu meninggalkan
setumpuk kata
mugiwara berlayar kelam
di tanganmu kembang meski matamu lebam
selayak ombak sesuara suram
sedakar karang segala kau pendam
210811
Semoga Engkau Damai
aku yakin di sana arwahmu tersenyum
melihat lebaran, yang seharusnya menjadi iedul fithri
kali ini, justru memasang tarif yang begitu mahal.
ya, maaf kalau aku sedikit cemburu.
220811
Selintas Siang
seperti selembar kenangan
seperti cerita tentang daun jendela
yang engkau bisikkan di telinga tua
punggung pegunungan
senja menyisakan jingga
bagai hari-hari kemarin
230811
Ode
denting dawai
senandung sukma
lambai rambutmu
nyanyian rindu
230811
Kemanakah Rasa Iba
ketika agustus di sebuah republik menuju kulminasi dua arah; harga kemerdekaan menukik ke titik termiskin, sedang pada lintasan lain, harga ramadhan dan lebaran yang mestinya fithri, justru membumbung ke titik tak terjangkau.
ayolah, berapa banyak diantara kita yang tidak mencemaskan tehaer? kenapa?
oalah ....
230811
Masih
aku menoleh kepadamu
dan masih begitu
bergumul dengan ragu
kaulihat, senyumku masih untukmu
230811
Perburuan
pada dua dunia
langkah terpuruk
sunyi hitam cahaya
wajah muram jelaga
kehidupan berjalan
di atas bumi berlari
pada maya
lintang pungkang
1/
remunerasi, kaji ulang
2/
ctrl-alt-del, format ulang
230811
Ziarah #5
berdiri di sisi gundukan merah
penciumanku diseruput wangi tanah basah
di sini, sebuah prasasti menancapkan nisan
hitam kesetiaan
Mksr, 23082011
Akan Kuingat
lekuk wajah rona
ditelan suara
beringas kota
senja dan kepak camar
suara angin luruh
telah lama terlupa
dukamu terpendam
sediam karang
kasih, akan kuingat
Mksr, 250811
Tidak ada komentar:
Posting Komentar